Kemesraan Media dan Anak Muda Dalam Konteks Budaya Populer - berandaagung

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Rabu, Januari 02, 2019

Kemesraan Media dan Anak Muda Dalam Konteks Budaya Populer

Sumber gambar: Marketeers
“Budaya Populer” atau biasanya disebut “Budaya Pop” merupakan penggabungan dari dua kata yaitu “Budaya” dan “Populer”. Budaya dapat diartikan “segala sesuatu untuk mengacu pada suatu proses umum perkembangan intelektual, estetis, dan spiritual atau non-material”. Rumusan ini merupakan rumusan budaya yang paling mudah dipahami, dengan mengaitkan tentang perkembangan budaya Eropa Barat yang merujuk pada faktor-faktor intelektual, spiritual, estetis seperti penyataan filsuf besar, seniman, dan budayawan terutama pada masa pasca era industrialisasi. Kata lain juga bisa berfungsi sebagai “pandangan gaya hidup tertentu dari masyrakat, periode, atau kelompok tertentu” (Williams, 1983). Sedangkan “Populer’ menurut William memberikan empat makna yang mengandung pengertian, yakni; (1) banyak disukai orang; (2) jenis kerja rendahan; (3) karya yang dilakukan untuk menyenangkan orang; (4) budaya yang memang dibuat oleh orang untuk dirinya sendiri.”

Dengan demikian istilah budaya pop dapat diterjemahkan dengan pengertian suatu aktifitas atau praktik-praktik sosial yang bisa menyenangkan orang dan disukai oleh banyak orang. Dalam perspektif industri budaya, budaya populer dinilai sebagai produk kapitalisme yang bersifat massal dan dikelola terus menerus oleh jejaring media di mana jarak jangkauannya hampir tak terbatas dan bahkan bisa menembus batas wilayah suatu negara (Imanto, 2012).

Kebudayaan popular akhirnya menjadi pembicaraan yang kompleks. Budaya populer adalah budaya yang lahir atas kehendak media. Artinya, jika media mampu memproduksi sebuah bentuk budaya, maka publik akan menyerapnya dan menjadikannya sebagai sebuah bentuk kebudayaan. Populer yang kita bicarakan disini tidak terlepas dari perilaku konsumsi dan determinasi media massa terhadap publik yang bertindak sebagai konsumen. (Strinati, 2003) Hal ini dianggap bahwa media telah memproduksi segala macam jenis produk budaya populer yang dipengaruhi oleh budaya impor dan hasilnya telah disebarluaskan melalui jaringan global media hingga masyarakat tanpa sadar telah menyerapnya. Dalam operasionalnya, media selalu menanamkan ideologinya pada setiap produk hingga objek sasaran, khususnya pada anak muda yang mudah terprovokasi dengan propaganda tersembunyi di balik pesan.

Institusi industri media perlu melakukan penerapan strategi khusus untuk menjaring massa, guna menjalankan ideologinya “dalam upaya bertahan hidup, seperti halnya, bisnis lain, media menciptakan beberapa kegiatan yang diperkirakan disukai, dan sekaligus dibutuhkan masyrakat sebanyak-banyaknya” (Sapardi, 2009). Dibutuhkan cara dan teknik untuk menyebarkan dan mempromosikan ideologi. Ideologi bisa disebarkan dengan paksaan dan kekuasaan…” (Ellul, 1973:194).

Lull (2000:165) memaknai bahwa artefak-artefak dan gaya-gaya ekspresi manusia yang berkembang dari kreativitas orang kebanyakan, dan beredar di kalangan orang-orang menurut minat, preferensi, dan selera mereka. Budaya pop yang lahir sebagai imbas perkembangan teknologi informasi, dengan demikian ditopang industri kebudayaan (cultural industry) telah mengkonstruksi masyarakat yang tak sekedar berbasis konsumsi, tapi juga menjadikan semua artifak budaya sebagai produk industri dan menjadi komoditas.

Ciri-ciri budaya populer diantaranya adalah sebuah budaya yang menjadi tren dan diikuti atau disukai banyak orang berpotensi menjadi budaya populer; sebuah ciptaan manusia yang menjadi tren akhirnya diikuti oleh banyak penjiplak; Adaptabilitas, sebuah budaya populer mudah dinikmati dan diadopsi oleh khalayak, hal ini mengarah pada tren; Durabilitas, sebuah budaya populer akan dilihat berdasarkan durabilitas menghadapi waktu, pionir budaya populer yang dapat mempertahankan dirinya bila pesaing yang kemudian muncul tidak dapat menyaingi keunikan dirinya, akan bertahan-seperti merek Coca-cola yang sudah ada berpuluh-puluh tahun; Profitabilitas, dari sisi ekonomi, budaya populer berpotensi menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya (Rahmanto, 2009).

Budaya pop merupakan bentuk budaya yang lebih mengedepankan sisi popularitas dan kedangkalan makna atau nilai-nilai. Budaya pop juga bisa dilihat sebagai lokasi di mana makna-makna dipertandingkan dan idelogi yang dominan bisa saja diusik. Dengan kata lain, budaya pop membawa pertarungan makna di mana segala macam makna bertarung memperebutkan hati masyarakat modern. Dan sekarang ini, model praktis dan pemikiran pragmatis mulai berkembang dalam pertempuran makna itu. Kepraktisan, pragmatism dan keinstanan dalam pola kehidupan menjadi salah satu ciri khas Budaya pop. Di sini media, baik cetak atau elektronik menjadi ujung tombaknya untuk menerjemahkan budaya pop langsung ke jantung peradaban masyarakat, khususnya pada anak muda.

Keterkaitan budaya pop dengan anak muda dapat terlihat jelas pada sekumpulan artefak yang dikemas dan dikonsumsi dalam produk budaya seperti film, musik, pakaian, dan sebagainya yang selalu muncul dan berubah secara unik di berbagai tempat dan waktu. Kemunculan dan perubahan itupun diikuti dengan aktifitas media yang secara masif menyebarkan informasi dan pergerakan trennya. Dengan kekuatan media, suatu tren tertentu dapat dimodifikasi dan dikontrol sebagai momen dalam memenuhi kebutuhan baik secara material maupun non-material melalui instrumen institusi industri media.
Sumber gambar: parents.wfu.edu
Budaya Pop: Media Melahirkan, Anak Muda Menentukan
Sinergisme media dan anak muda dalam konteks budaya populer didasari oleh kebutuhan material dan non-material. Media berupaya mengemas informasi seputar gaya hidup sementara anak muda berupaya mendapatkan pengakuan sebagai entitas sosial yang dilegitimasi secara instan oleh media terkait gaya hidup anak muda itu sendiri. Jika budaya populer dikatakan lahir atas kehendak media, akan tetapi keberlakuannya ditentukan oleh anak mudanya.

Dijelaskan sebelumnya bahwa media sekedar memprediksi apapun yang kemungkinan akan banyak disukai dan dibutuhkan, sedangkan anak muda memiliki kebebasan untuk menentukan pilihan produk budaya. Oleh karena itu institusi industri media memerlukan strategi khusus untuk menkonstruksi realitas anak muda dengan paksaan dan kekuasaan. Namun pada umumnya anak muda menganggap media merupakan saluran informasi untuk memenuhi eksistensinya sebagai entitas sosial, apalagi saat ini terdapat berbagai macam bentuk media cetak, elektronik, dan internet yang telah memiliki keterbukaan akses dan informasi.

Media dan anak muda memandang budaya pop sebagai suatu kebermanfaatan tersendiri untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Media menanamkan ideologi konsumerisme sementara anak muda mengemban eksitensialisme. Akan tetapi, media sebagai institusi bisnis memiliki kekuatan penuh untuk mempengaruhi dan mengambil alih nilai budaya pop sebagai komoditas yang diperjualbelikan dengan memanfaatkan anak muda.  Herbert Marcuse (1968) menyebutkan bahwa ideologi konsumerisme pada dasarnya menciptakan kesadaran palsu dan juga bekerja sebagai kontrol sosial. Dengan demikian, eksistensialisme yang dianut anak muda dapat dikonstruksi oleh kepentingan media. Namun tidak sedikit juga anak muda telah memahami budaya pop dan berupaya mengendalikan tren melalui pemanfaatan media. Sebagai contoh telah banyak dilakukan oleh figur anak muda yang memiliki pengaruh dan identitas publik seperti model, artis, atau selebriti.

Kolektivitas Media dan Anak Muda Dalam Budaya Pop
Budaya pop merupakan arena pertarungan makna dan ideologi yang mengedepankan popularitas, namun memiliki kedangkalan makna dan nilai-nilai karena secara instan dibentuk sebagai selera dominan untuk mengambil perhatian banyak pihak. Anak muda memiliki otoritas individual untuk menjalankan budaya secara kolektif sebagai pemenuhan kebutuhan non-material, sedangkan media sebagai insititusi bisnis memiliki strategi untuk menjaring massa guna menjalankan ideologinya dalam upaya bertahan hidup dengan keuntungan material. Dalam kaitannya dengan budaya pop, media dan anak muda berupaya mendapatkan dominasi pengaruh dengan keuntungan yang berbeda, antara material dan non-material.

Sinergisme media dan anak muda telah menjaga eksistensi budaya pop dengan menyediakan artefak-artefak dan gaya-gaya ekspresi yang berkembang dari kreativitas orang kebanyakan, dan beredar di kalangan orang-orang menurut minat, preferensi, dan selera mereka. Akan tetapi budaya pop yang lahir merupakan imbas perkembangan teknologi informasi dan telah ditopang oleh industri kebudayaan melalui konstruksi masyarakat yang tak sadar berbasis konsumsi. Tentunya hal tersebut dibentuk oleh aktifitas media yang banyak menyampaikan ideologi konsumerisme.

Kekuatan media yang konkret dapat mengemas bagaimana budaya pop berkembang dengan adaptabilitas yang memanfaatkan anak muda sebagai “pionir”-nya di tengah khalayak umum. Kita dapat melihat sejumlah anak muda tampil di berbagai kanal media dengan membawa nilai-nilai budaya pop. Dari sisi media melihat nilai-nilai itu dapat dikemas sedemikian rupa sebagai program promosi produk-produk barang maupun jasa, sedangkan realita sosial anak muda secara sadar maupun tak sadar sekedar mengikuti bagaimana artefak-artefak atau produk budaya pop itu disukai. Adapun durabilitas pesan yang ditampilkan anak muda melalui media dapat berpotensi membentuk bahkan mempertahankan tren tertentu untuk diikuti secara masif. Dalam kesempatan ini media sebagai institusi industri mengklasifikasi kelompok anak muda untuk menerjemahkan budaya pop dengan profitabilitas dari pesan-pesan yang ditujukan kepada khalayak agar menghasilkan keuntungan yang besar bagi industri yang mendukungnya.

Kepentingan industri mengupayakan budaya pop dapat dikonsumsi secara massal melalui kelompok-kelompok anak muda yang diposisikan sebagai objek dan media sebagai subjek dengan institusinya yang mengetahui bagaimana budaya pop berlangsung sebagai suatu kebutuhan tertentu. Di samping itu anak muda tetap memiliki otoritas dalam merespon bagaimana kebermanfaatan budaya pop untuk kehidupan sosialnya. Kendati begitu pergulatan media dan anak muda saling bergantung satu sama lain, anak muda membutuhkan media sebagai institusi dalam memenuhi kebutuhan baik intelektual, spiritual, maupun material, demikian pula sebaliknya. Terkhusus pada media cetak yang diramalkan akan punah, bahwa anak muda dikatakan dapat menjadi bagian dari pengupayaan keberlanjutan industri media di masa depan. Pernah disampaikan serang konglomerat media, Rupert Murdoch, bahwa umur media cetak bisa diperpanjang apabila media cetak menghentikan arogansinya dan memberikan perhatian pada kebutuhan masyarakat khususnya anak muda.

*
*Tulisan ini bagian dari perkuliahan Kajian Isu Komunikasi

DAFTAR PUSTAKA
Buku
  • Damono, Sapardi D. (2009). Kebudayaan (Populer) Di sekitar Kita. Jakarta: Kompleks Dosen UI.
  • Ellul,  Jacques. 1973. Propaganda : The Formation of Mens Attitudes. Vintage Books.
  • Lull, James, 2000. Media Komunikasi budaya. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia
  • Storey, John. 2003. Teori Budaya dan Budaya Pop: Memetakan Lanskap Konseptual Cultural Studies. Penyunting: Dede Nurdin. Yogjakarta: Qalam.
  • Strinati, Dominic. (2003). Popular Culture: Pengantar Menuju Teori Budaya Populer. Yogyakarta:Bentang.
  • Williams, Raymond. 1983. Keyword: A Vocabulary of Culture and Society. London: Fontana

Situs Web
  • Rahmanto, Andre. (2009). (https://www.slideshare.net/andreyuda/media-dan-budaya-populer diakses 27/12/2018)
  • Imanto, Teguh (2015). Budaya Populer dan Realitas Media. (https://www.esaunggul.ac.id/budaya-populer-dan-realitas-media/ diakses 27/12/2018)

Jurnal
  • Kaparang, Olivia M. (2013).  Analisa Gaya Hidup Remaja Dalam Mengimitasi Budaya Pop Korea Melalui Televisi. Journal “Acta Diurna”.Vol.II/No.2.
  • Suparmi, Tiara A. (2014). Perilaku Remaja Urban Terhadap Pop Culture (Studi Deskriptif Perilaku Keranjingan Remaja Urban Di Surabaya). Universitas Airlangga. Vol. 3 / No. 2 / Pub. 2014-02.
  • Tanudjaja, Bing B,. (2009). Pengaruh Media Komunikasi Massa Terhadap Popular Culture Dalam Kajian Budaya/Cultural Studies. Universitas Kristen Petra, Surabaya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad