Tragedi Bencana Alam 28 September 2018 di Tanah Kaili: "Lingu, Bombatalu, dan Nalodo" - berandaagung

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Minggu, Oktober 14, 2018

Tragedi Bencana Alam 28 September 2018 di Tanah Kaili: "Lingu, Bombatalu, dan Nalodo"

Sumber Foto: Reuters
Orang Kaili atau penduduk asli di lembah Palu sebelumnya telah mengenal istilah-istilah terkait bencana alam dengan penyebutan dalam bahasa Kaili.

"Lingu" yang berarti gempa, "Bombatalu" adalah tsunami atau gelombang yang memukul tiga kali, dan "Nalodo" adalah likuifaksi atau hancurnya daratan/tanah yang diisap lumpur. Istilah itu telah muncul sejak lama sebelum saat ini sebagai suatu pengalaman langsung dari masyarakat pendahulu yang bermukim di lembah Palu.

Dari istilah itu semestinya menjadi acuan literasi bagi masyarakat lokal untuk mengenal dan mempelajari pengalaman dari kejadian bencana alam sebelumnya. Melalui literasi itu juga dapat dikembangkan gagasan dalam menghadapi bencana, seperti yang dilakukan di negara Jepang dan daerah lainnya yang rentan akan benacana alam.

Pada 28 September 2018 lalu, “Tanah Kaili”, tempat kami dilahirkan dan dibesarkan, telah ditimpa sebuah musibah bencana alam; Gempa berkekuatan 7,4 SR yang disusul dengan Tsunami dan Likuefaksi itu membawa duka yang mendalam. Kota Palu, Donggala, dan Sigi menjadi porak-poranda, kejadian itu memakan banyak korban serta merusak berbagai infrastruktur kota.

Dalam peristiwa itu, Ibukota Provinsi Sulawesi Tengah, Kota Palu merupakan daerah terparah yang diterpa musibah. Sehari setelah peringatan HUT Ke-40 Kota Palu, momentum yang dibaluti harapan kemajuan pembangunan daerah itu seakan pupus diguncang Gempa, diterjang Tsunami, dan ditenggelamkan Likuefaksi. Bukan hanya Palu, Donggala dan Sigi juga turut menjadi daerah terdampak dari bencana alam itu.

Jumat petang (28/9/2018) ketika tanah berguncang kencang, ribuan orang dilanda kepanikan sambil berlari menyelamatkan diri. Ribuan bangunan bergetar meretakkan dinding-dinding, bahkan juga menghancurkannya menjadi puing-puing.”Toloong...!!!” Teriak dan tangis terdengar lantang dalam suasana yang sangat mencekam. Musibah itu datang di luar kendali manusia, semuanya atas kehendak yang maha kuasa.

Bencana pada 28 September 2018 itu bukan yang pertama kali terjadi daerah di Sulawesi Tengah, namun memang ini yang terparah dalam catatan sejarah dari bencana sebelumnya pada tahun 1927, 1930, 1938, 1996, 1998, 2008, 2012, dan 2015.

Ganasnya gempa, tsunami, dan likuifaksi pada Jumat (28/9) telah memporak-porandakan Palu, Sigi, dan Donggala. Dengan gempa berkekuatan 7,4 Skala Richter , tsunami berketinggian antara 1-3 meter, dan likuifaksi yang menggeserkan tanah hingga berjarak lebih dari 5 meter.

Peristiwa itu menjadi introspeksi kita. Sepatutnya kita perlu memahami hidup di negeri dengan sejuta kekayaan alam ini namun rentan dengan bencana. Karenanya kita harus mampu beradaptasi dengan segala kondisi dan situasi. Di samping itu, menghadapi musibah juga diperlukan kejernihan pikiran, kebesaran hati, dan kekuatan jiwa. Semoga kita semua berada dalam perindungan dan keselamatan dari yang maha kuasa.

Saat ini banyak saudara-saudari kita sedang membutuhkan uluran tangan untuk dapat bangkit memulihkan asa, menyudahi lara, dan menjalani hidup seperti sedia kala. Berantakan! Kita renungkan dan rapikan tanah kaili itu kembali.

Mari berbagi kebaikan untuk melanjutkan kehidupan..
Semoga kita selalu berada dalam perlindungan dan keselamatan..

Video dirangkum dari berbagai sumber
Latar Musik: Nakuya - Culture Project

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad