Adrian Adioetomo: Memilih Bermusik Delta-Blues - berandaagung

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Jumat, Januari 12, 2018

Adrian Adioetomo: Memilih Bermusik Delta-Blues


Kesempatan menarik bisa berbincang "lancang" dengan seorang musisi solois, Adrian Adioetomo, dalam kegiatan yang diselenggarakan secara sederhana oleh Anarkonesia, salah satu komunitas massa yang berjejaring untuk kegiatan edukasi gerakan ideologi dan kemanusiaan. Kegiatan tersebut diberi tajuk Festival Merah-Hitam dengan menawarkan rangkaian acara Mural, OpenMic Comedy, Nobar Film Dokumenter, Workshop, dan Pertunjukan Musik. Berlangsung tanggal 3-5 November 2017. Di Kolektivo G49, Jalan Guntur, No. 49. Jakarta Selatan.

Kehangatan canda dan tawa terjaga dalam setiap sesi acara. Berkenalan, belajar dan berbahagia. Hampir semua audiens yang tidak lebih hanya sekitar tigapuluhan orang saat itu, merapatkan dirinya untuk berkenalan, belajar dan berbahagia. Saling menyapa satu sama lainnya. Dalam kesempatan itu, saya menemui Adrian untuk bertanya-jawab. Berakrab ria. Adrian menceritakan secuil aktifitasnya di ranah musik sebagai gairah hidupnya. Sempat berhijrah ke negara lain, berkelana lalu kembali untuk negeri sendiri ternyata meyakinkan Adrian untuk banyak beraktifitas dalam berbagai kegiatan sosial, budaya, dan pendidikan melalui diskusi publik serta tentunya jalur musik yang mendarahdaging baginya.

Berpaling dari pekerjaan kantoran yang dianggapnya membosankan, di tahun 2005, Adrian Adioetomo memutuskan untuk menggeluti dunia musik dan memilih menjadi musisi Delta-Blues dengan mengandalkan gitar Dobronya karena pangaruh lingkungan tempat dia bermukim saat di Canberra – Australia. Di awal perjalanan musiknya, Adrian menjajal banyak panggung ke panggung setingkat kafe, kemudian berinisiatif merekam penampilan dan musik karyanya sendiri untuk disebarluaskan. Setiap kesempatan manggung, Adrian merasa cukup mendapatkan apresiasi dari penonton, walaupun musik yang dimainkannya tidak dapat dinikmati oleh semua orang, namun dari situlah Adrian kemudian menemukan ruang bersama penikmat musiknya.

Mengulik sedikit profil Adrian Adioetomo. Adrian adalah seorang lulusan Sarjana Desain Grafis dari University of Western Sydney, namun lebih terkenal sebagai musisi daripada sebagai seorang disainer. Kelahiran di Balikpapan, Kalimantan Timur. Kedua orangtua Adrian berasal dari Solo, Jawa Tengah, dan ia dibesarkan di Jakarta. Ketika duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) di Jakarta, Adrian pindah ke Australia mengikuti ibunya yang mengambil S3 di Australian National University di Canberra pada 1989. Ibunda Adrian, Prof Sri Moertiningsih Adioetomo SE MA PhD, guru besar ekonomi di Universitas Indonesia, saat itu memperoleh beasiswa dari Pemerintah Australia. Adrian pun melanjutkan pendidikan SMA-nya di daerah pinggiran Canberra, Ibu Kota Australia. (Sumber info selanjutnya http://indonesia.embassy.gov.au/jaktindonesian/RS100840.html)

Adrian Adioetomo bukan seorang musisi populer di khalayak penikmat musik Indonesia, karyanya pun tidak begitu sering terdengar, apalagi diakui Adrian kalau produktifitas albumnya terbilang lambat, karena secara pribadi membutuhkan konsep yang matang untuk menghasilkan karya. Sejauh ini Adrian sudah merilis tiga album, pertamanya "Delta Indonesia" berisikan 14 lagu pada tahun 2007, yang kemudian mendapatkan sambutan hangat serta dukungan dari berbagai pihak, khususnya yang paling dikenang dari pengamat musik Indonesia, Denny Sakrie, yang memberikan respon sangat baik untuk membantu, dan juga Wendy Putranto yang bersama-sama melalui Majalah Rolling Stone Indonesia mengangkat karya musik Adrian ke masyarakat luas.

Selain berkarya solo, Adrian juga pernah tergabung dalam band musik (Raksasa: https://raksasaband.wordpress.com/about) sebagai sebuah proyek musik yang terdiri atas sekumpulan musisi independen di Indonesia yang tidak begitu asing namanya, diantaranya adalah Franki Indrasmoro (drum) – atau yang lebih dikenal sebagai Pepeng – dari NAIF, Adi Cumi (vokal) dari Fable, Iman Fattah (gitar) dari Zeke And The Popo, dan Adhi Tomo (Bass). Pertemuan mereka pada awal Agustus 2008, disiasati oleh Adib Hidayat, senior editor di Majalah Rolling Stone Indonesia.

Perjalanan Adrian menggeluti dunia musik menjadi menarik ketika karakter musik delta-bluesnya sangat kuat di tengah dominasi budaya massa dengan selera musik tertentu saja. Mungkin mendengarkan musik blues saat ini menjadi terkesan kuno oleh sebagian orang-orang kita. Namun keunikannya menjadi penyegaran untuk diperdengarkan kembali oleh Adrian Adioetomo dengan karakter dan ciri khas panggungnya. Adrian juga mengatakan bangga karena dalam beberapa kesempatan masih menemukan minat sejumlah orang pada musik blues dan komunitasnya di daerah-daerah yang ternyata menguatkan kalau blues tetap eksis di tengah kendali musik dominan saat ini.

[video]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad