Mengulik Projek Dokumentasi Musik Ala Sound From The Corner - berandaagung

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Rabu, Oktober 04, 2017

Mengulik Projek Dokumentasi Musik Ala Sound From The Corner

Co-Founder Sound From The Corner (SFTC), Teguh Wicaksono, menjelaskan banyak hal tentang manajemen projek di kelas workshop online music documentation yang diselenggarakan oleh SAE Institute Indonesia, bertempat di Jl. Pejaten Raya No.31, Ps. Minggu, Jakarta. Berlangsung pada hari Minggu (1/10/2017).

Kelas “online music documentation” mulai dipenuhi sejumlah peserta workshop pada jam 3 sore di ruangan yang berkapasistas sekitar tiga puluhan orang. Sebuah video klip musik hasil produksi dari Sound From The Corner dipertontonkan sebagai pengantar sebelum memulai pemaparan materi workshop. Saat itu tidak lupa Teguh juga menyelipkan penjelasan tentang kegiatan Archipelago Fest sebagai partnership di acara yang akan berlangsung tanggal 14 dan 15 Oktober 2017 mendatang.

Teguh menjelaskan kegiatan yang dilakukan oleh SFTC, yaitu sebuah pengarsipan musik dalam bentuk dokumentasi video online. Dalam pemaparannya, terdapat tiga rangkaian materi; Project management, Video production dan Audio production. Namun waktu kurang lebih 90 menit tanpa rekan pemateri lainnya, penjelasan dari Teguh menitikberatkan hal-hal yang berkaitan dengan manajemen projek Sound From The Corner, seperti mengkurasi, negosiasi, monetasi.

Sound From The Corner (SFTC) adalah projek pengarsipan online dengan mengkurasi dan memproduksi dokumentasi musik di Indonesia yang berfokus pada kualitas”, ucap Teguh.

SFTC pertama kalinya dimulai tahun 2012, berawal dari kerisauhan Teguh bersama teman-teman lainnya, yang merasa bahwa adanya kejanggalan tren program acara musik pagi di stasiun TV Indonesia. Program acara musiknya kebanyakan sangat tidak memberikan edukasi dan representasi penampilan musik yang selayaknya. Lihat saja saat itu bahkan mungkin sekarang juga masih ada program acara yang menyajikan penampilan musisi atau grup musik dengan tidak benar-benar tampil secara orisinil, ditambah lagi terdapat penonton-penonton aneh yang diatur oleh pihak acara tetapi justru justru terlihat konyol di layar kaca. Dengan melihat fenomena itulah yang kemudian SFTC mencoba untuk menawarkan sajian alternatif konten musik berkualitas.

Kembali pada materi projek pendokumentasian. Tahapan konseptual dari pengkurasian, yaitu menentukan dan mengolah konten apa yang akan kerjakan, hal tersebut menjadi pemahaman mendasar untuk membentuk karakter dari dokumentasi yang dihasilkan, karena nantinya ada banyak pilihan publik untuk memilih apa yang ingin dia tonton. Nah, karakter dan konsistensi kontenlah yang kemudian dapat menarik perhatian khalayak. Tidak hanya sampai di situ, kita juga perlu memperhatikan konten untuk bisa tetap berkelanjutan, artinya bagaimana mengolah ide agar terus berkembang sesuai dengan nilai karakter dan konsistensi yang sudah dibuat.

Teguh mengatakan secara konseptual bahwa SFTC biasanya membuat agenda atau catatan-catatan untuk mengetahui apa saja yang akan dan telah dikerjakan, seperti menentukan kejelasan format projek, isi konten, kejernian akses, dan evaluasi. Kami selalu mengupayakan agar alur kerja terencana secara kompleks serta mengetahui berbagai hal untuk kelancaran pengerjaannya.

Kurasi Musisi atau Band
Teguh juga menjelaskan terdapat dua cara dalam proses pengkurasian band yang dilakukan oleh SFTC, pertama kami berusaha mengenal band secara mendalam atau band menawarkan sendiri karyanya untuk didokumentasikan. Selanjutnya proses itu kami diskusikan bersama secara subjektif, apa saja yang menarik sehingga menjadi sebuah keharusan untuk memproduksi dan medokumentasikan video band tersebut.

“Secara umum penilaiannya itu dari segi kualitas band dan karyanya. Sebenarnya kami juga tidak mempunyai syarat dan ketentuan yang pasti, hanya saja melalui diskusi-diskusi yang dilakukan dapat dipertimbangkan bersama”, ungkapnya.

Menurut Teguh Mengukur kualitas musik dan band atau musisi itu bisa dilihat dari berbagai sisi, yang tentunya juga dilihat dari eksekusi penampilannya di panggung. Selera musik setiap orang berbeda-beda, jadi tergantung dari apa yang dianggap seseorang secara subjektif baik untuk dinikmati. Pendapatnya saat ini perkembangan musik di Indonesia sangat pesat dengan banyaknya berbagai macam karya musik, hanya saja masih banyak musisi atau band yang masih belum terangkat untuk diperkenalkan kualitas musiknya ke banyak orang.

Mengolah Produksi dan Monetisasi
Sementara proses kerja video dan audio tidak dibahas secara mendalam pada kesempatan ini, semuanya dapat dipelajari lebih jauh bersama tim produksinya masing-masing. Ringkasnya, terdapat enam kameramen SFTC yang bertugas mengambil gambar secara khusus, selain itu terdapat editor, kru alat, dan sebagainya. Kategorisasi konsep video juga dibagi menjadi dua bagian, yaitu luar ruangan dan dalam ruangan, adapun konsep produksi yang juga dilakukan di area konser yang biasanya menyesuaikan dengan keadaan acara dan panggung. Pada setiap kategori video tersebut, secara teknis tim audio menyesuaikan keadaan untuk pengambilan suara.

Secara menyeluruh pendokumentasian itu penting untuk melengkapi penyusunan portofolio, itu juga yang nantinya dapat menunjang promosi ke publik. Ada banyak hal yang bisa didokumentasikan dalam kegiatan musik, mulai dari aktifitas sehari-hari dari band dan timnya, bagaimana karya musik berproses di studio atau panggung, dan sebagainya.

Pendekatan proses kerja SFTC dilakukan secara kolektif dalam ruang lingkup komunitas, biasanya SFTC membuat konsep produksi yang didiskusikan bersama musisi atau band yang dipilih, namun ada juga yang menawarkan diri dengan mengirimkan penawaran dan portofolionya ke SFTC. Semuanya menyesuaikan, namun terdapat beberapa hal yang perlu didiskusikan terlebih dulu dengan saling mencocokan kelayakan pengerjaan projek.

Mengerjakan projek secara partisipatif, kegiatan SFTC baru termonetisasi ketika memasuki tahun ketiganya dalam berkarya secara konsisten, yang dibangun melalui platform Youtube. Dalam hal bisnis SFTC belum mengembangkannya secara merinci, SFTC tidak ingin terlalu berkompromi dengan pihak brand atau sponsor dalam mengintervensi program.

SFTC juga pernah mendapatkan beberapa tawaran untuk menyiarkan dokumentasi video musiknya di stasiun lain, seperti TV, hal tersebut sangat dapat dimungkinkan sebagai kegiatan bisnis, tetapi dari SFTC tidak ingin menginginkan videonya disiarkan di saluran atau stasiun lain, karena dapat mengubah idealis SFTC yang dibangun dari awal. Apalagi dalam proses produksinya bersama musisi dan band juga dimulai dari kerja secara kolektif dan partisipatif untuk menghidupkan dan meluaskan skena musik Indonesia melalui eksistensi media baru.

Pengalaman negosiasi monetasi video pernah dilakukan bersama dua band, seperti Dialog Dini Hari dan Endah n Resah, pembagiannya 70:30, 70% ke pihak band dan 30% ke pihak SFTC, namun tidak menutup kemungkinan akan berbeda dengan yang lainnya, semua tergantung dari diskusi bersama band.

Adapun pengembangan yang dilakukan SFTC dalam rangka ulang tahunnya yang kelima, disampaikan Teguh bahwa SFTC membuat sebuah tim projekan bernama “Squad” yang diharapkan dapat mengembangkan kegiatan untuk menjangkau skena musik labih meluas di Indonesia. Kegiatan projekan itu terdiri dari rangkaian workshop serta perekrutan tim di beberapa daerah. Saat itu terdapat sekitar 300 orang dari beberapa kota yang mendaftar, kami berharap bersama Squad SFTC itu bisa memacu semangat kreatifitas untuk mengangkat skena musik Indonesia.

Mengulik karya musik di Indonesia sangat banyak keberadaannya di berbagai daerah yang mungkin masih memiliki keterbatasan akses dalam mengangkat skenanya. Dengan demikian eksistensi SFTC saat ini sangat dimungkinkan untuk menjangkau kegiatan musik di daerah-daerah. “tetapi saya malah berpikir lebih baiknya lagi kalau teman-teman daerah dapat membangun skena musik lokalnya sendiri, yang tidak menutup kemungkinan juga bisa menggunakan langkah-langkah seperti yang dilakukan SFTC”, ucapnya.

Beberapa bulan lalu SFTC mengerjakan projek workshop pertama kalinya di makassar, pekanbaru, jogjakarta, dan bandung, dengan harapan bisa menghidupkan potensi di daerah tersebut untuk ikut terlibat dalam mengangkat kualitas skena musik di Indonesia. Kegiatan itu pun mendapatkan respon yang sangat baik, sehingga ke depannya kemungkinan bisa digelar kembali dengan menjangkau lebih banyak daerah lainnya. “kalau ada kesempatan sepanjutnya, kami juga ingin berkunjung ke Palu”, tutupnya.

Dari keseluruhan penjelasan Teguh, sebuah konsistensi dan karakter memang menjad hal terpenting dan tantangan dalam berkarya saat ini. Disamping ketersediaan informasi serta beragam perangkat yang dapat menunjang kreatifitas, menjaga konsistensi dan karakter itu juga menjadi bagian yang harus selalu diperhatikan.

Narasumber: Teguh Wicaksono | Co-Founder Sounds from the Corner | Country Manager at Musical.ly | Partnership Manager Twitter Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad