Terkait disahkannya UU. NO.5 Tahun 2017 mengenai pemajuan
kebudayaan, Komunitas Seni Tadulako – Yayasan Tadulakota’ menyelenggarakan temu
diskusi dalam rangka membangun Ekosistem Kebudayaan bersama. Adapun yang ikut
serta pada diskusi tersebut, yaitu unsur Eksekutif maupun Legislatif, LSM
Pemeharti Budaya, Akademisi, serta pegiat Seni-Budaya. Berlangsung di Taman
Budaya Jalan Abd. Raqie, Palu Barat. Senin, (11/6/2017).
Diskusi yang diantarkan oleh Rizali Djaelangkara selaku akademisi
di Universitas Tadulako, membuka dialognya dalam sebuah catatan kritis dengan merangkumkan
kekuatiran dan harapan dalam UU. No 5 Tahun 2017 mengenai pemajuan kebudayaan
daerah.
Rizali menyampaikan kelahiran undang-undang pemajuan
kebudayaan ini dilatarbelakangani oleh berbagai permasalahan, seperti pembangunan
ekonomi yang belum diimbangi dengan pembangunan karakter bangsa, sehingga
memperlemah jati diri nasional dan ketahanan budayanya, serta beragam hal
lainnya.
Ia juga mencatat implikasi pemajuan kebudayaan terhadap
perkembangan kebudayaan di daerah memiliki permasalahan faktual yang belum
adanya titik temu persepsi dan sudut pandang serta komunikasi yang melembaga
secara konstruktif dan produktif. Berbagai pihak yang terlibat seperti pegiat
seni-budaya, maupun pemerintah selaku regulator pun asik pada dunianya sendiri
tanpa mengoptimalkan upaya mengedukasi dunia kesenian atau kebudayaan di
masyarakat.
Di sisi lain, Zulkifly Uun Pagesa selaku budayawan yang juga
aktif berkegiatan di Dewan Kesenian Donggala, menyatakan bahwa bagaimana bisa
kebudayaan diatur? Sedangkan kebudayaan berkembang secara alami di masyarakat,
akan tetapi yang dilakukan oleh pemerintah saat ini, yaitu mengantisipasi
perkembangan-perkembangan terkini mengenai kebudayaan dalam konteks kebudayaan
itu sendiri.
Undang-undang ini kemungkinan akan lebih mengatur sesuatu
dalam bidang kepentingan politik di pemerintahan, sementara budaya yang
bersifat cair itu mengalir begitu saja dengan mencocokan keberadaanya di suatu
tempat tertentu. “Semestinya undang-undang pemajuan kebudayaan ini dipertajam
pada hal-hal yang filosofis untuk melihat lebih dekat keberagaman yang tumbuh
di tempat masyarakatnya berada”, ungkap Uun.
Sebelumnya pembahasan RUU telah memusatkan perhatiannya pada
upaya “memajukan kebudayaan” sebagaimana yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 32
Ayat 1. Mengutip penyampaian Ketua Komisi X DPR RI, Teuku Riefky Harsya, yang
dirilis oleh Kemendikbud, menyampaikan bahwa sedikitnya terdapat 9 manfaat yang
diperoleh masyarakat dari pokok-pokok bahasan atau norma-norma saat RUU ini
disahkan menjadi UU.
Ke sembilan manfaat tersebut, yaitu: kebudayaan sebagai
investasi bukan biaya; sistem pendataan kebudayaan terpadu; pokok pikiran
kebudayaan daerah; strategi kebudayaan; rencana induk pemajuan kebudayaan; dana
perwalian kebudayaan; pemanfaatan kebudayaan; penghargaan, dan sanksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar