Gelitikan Konglomerasi Media - berandaagung

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Kamis, Juli 10, 2014

Gelitikan Konglomerasi Media


Berikut ini ialah pembahasan refleksi dari tugas mata kuliah Ekonomi Politik Media. Seusai pengenalan mata kuliah pada siang kala itu, tiba-tiba kami para mahasiswa diberikan tugas untuk membuat pengulasan secara bebas tentang konglomerasi media. Berhubung mata kuliah tersebut masih dalam tahap pengenalan, maka ulasan yang saya sampaikan sekedar persepsi awal dalam menanggapi mata kuliah Ekonomi Politik Media.

Pembahasan konglomerasi media memang menjadi satu pembicaraan yang menggalaukan bagi sejumlah pemerhati media. Khusus di Indonesia, hal itu dilihat dari beberapa kekhawatiran para intelektual yang saking cerdasnya sampai sibuk ingin menggaruk-garuk urusan para pelaku konglomerasi media.

Sebagai pengantar ulasan mengenai konglomerasi media, dapat dikenali pengertian dasar apa yang dimaksud dengan konglomerasi? Dan bagaimana konglomerasi media dapat terbentuk? Pertanyaan khusus untuk para mahasiswa yang sedang mempelajari mata kuliah ekonomi politik media. Konglomerat ialah pelaku atau penindak konglomerasi sebagaimana yang diharapakannya untuk dapat membangun suatu tatanan kekuasaan yang utuh. Pada dasarnya semua manusia memang seperti itu. Mungkin mereka mencoba untuk bertahan hidup.

Pembentukan konglomerasi media dapat dikatakan telah didominasi oleh kekuasaan ekonomi sebelum kekuasaan politik yang diharapkan. Sebagaimana peta ilmu sosial atau ekonomi, terdapat dua aliran besar ideologi, yaitu pemikiran ‘kanan’ dan ‘kiri’. Ekonomi aliran kanan punya pemahaman ekonomi liberal tentang satu sistem perekonomian yang bebas, campur tangan negara dibatasi sehingga akan tercipta pasar yang bebas. Tujuan utamanya yakni kekuasaan sebuah sistem perekonomian adalah pencapaian suaut kemakmuran. Kemakmuran bisa dicapai dengan terciptanya pasar bebas. Setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama dalam pasar, faktor utamanya adalah sebuah kepemilikan modal (kapitalisme).

Berbeda dengan arah yang berlawanan, teori kiri hadir mengkritisi ekonomi liberal. Dengan pernyataan bahwa pasar bukan faktor utama, namun justru negaralah yang seharusnya mengatur pasar. Sebagimana mekanisme yang seperti ekonomi liberal sangat tidak adil, sehingga dapat menimbulkan kesenjangan dan eksploitasi. Negara harus diberikan peran sentral dalam mengatur perekonomian. Sistem perekonomian yang demikian disebut sebagai sistem ekonomi sosialis. Tujuan utama perekonomian ini adalah untuk mencapai keadilan dan bukan sebagai kemakmuran semata.

Dapat dilihat pada saat ini, kejadian konglomerasi media yang tercipta didasari dengan adanya kepemilikan modal, yakni pemikiran kanan berusaha melakukan ekspansi sebagai penyebaran kekuasaan ekonomi sekaligus menuangkan pengaruh politiknya. Sebagai contoh, salah satu diantaranya adalah perusahaan media milik Hary Tanoesoedibjo, yaitu MNC yang terdiri dari RCTI, GlobalTV, MNCTV, Sindo, dan sejumlah media cetak dan online.

Awalnya Hary Tanoesoedibjo hadir sebagai seorang pemimpin perusahaan media, akan tetapi melalui beberapa tahap godaan yang ia dapati, maka akhirnya MNC mulai menggunakan frekuensi publik bukan hanya untuk kepentingan bisnis, tapi juga politik. Sebagaimana yang dikatakan William L Rivers, pemberitaan melalui media itu memiliki posisi sangat penting. Apalagi media televisi, memiliki daya hegemoni lebih canggih daripada media lain. Pengaruh media semacam televisi, pelan tapi pasti akan mempengaruhi pola pikir masyarakat.

Bukan hanya itu, di Indonesia hal tersebut sudah menjadi suatu budaya politik yang merambat. Lihat saja, perlahan-lahan semakin banyaknya anomali pada beberapa siaran televisi saat ini, penyiaran yang dilakukan tidak lagi mementingkan fungsi edukatif dan informatif, walaupun ada beberapa diantaranya tampak melakukan penetralan suatu kebijakan penyiaran sebagai penjagaan citra suatu wujud, tapi tidak lain hal tersebut hanya bertujuan untuk meraup keuntungan yang besar di sisi ekonomi dan juga politik tanpa sumbangsi yang positif kepada khalayak secara umum.

Contoh lain, media Kompas Gramedia Group (KKG) yang sebelumnya fokus di media cetak, kini telah melebarkan sayapnya dengan mendirikan Kompas TV yang bekerjasama dengan stasiun televisi daerah. Hal itu juga bisa menjadi salah satu tendensi tindak konglomerasi media yang akan mengarah ke bidang politik bagi pemilik perusahaan dengan mengharapkan suatu kedudukan dalam perpolitikan bangsa yang melemah. Maka dengan itu, terciptalah kekhawatiran masyarakat terhadap media yang awalnya dapat dipercaya sebagai media informasi dan edukasi yang berimbang.

Alhasil masyarakat pun kian berpaling menjadi apatis, ketika para politisi saling bercengkrama riang bersama para pemilik modal dalam media. Semua itu juga dapat dipandang sebagai hal yang lumrah, bahwa konglomerasi media yang dilakukan adalah hal yang wajar untuk mempertahankan kehidupan perusahaannya, dengan mengandalkan kekuasaaan yang dimiliki lalu membangun kekuasaan lain yang lebih besar lagi, sehingga menghasilkan beragam kekuatan-kekuatan ektrim. Ekstrim!

Kita (orang awam) masyarakat Indonesia memang terus dibentuk dalam dilema bagi bangsanya sendiri, maka tak ada solusi lain, kesadaran terhadap mengkonsumsi media juga perlu diatasi dengan adanya idealisme dari masing-masing individu dalam menanggapi bagaimana kekuatan media dalam mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad