Berikut ini ialah pembahasan refleksi dari
tugas mata kuliah Ekonomi Politik Media. Seusai pengenalan mata kuliah
pada siang kala itu, tiba-tiba kami para mahasiswa diberikan tugas untuk
membuat pengulasan secara bebas tentang konglomerasi media. Berhubung
mata kuliah tersebut masih dalam tahap pengenalan, maka ulasan yang saya
sampaikan sekedar persepsi awal dalam menanggapi mata kuliah Ekonomi
Politik Media.
Pembahasan konglomerasi media memang
menjadi satu pembicaraan yang menggalaukan bagi sejumlah pemerhati
media. Khusus di Indonesia, hal itu dilihat dari beberapa kekhawatiran
para intelektual yang saking cerdasnya sampai sibuk ingin
menggaruk-garuk urusan para pelaku konglomerasi media.
Sebagai pengantar ulasan mengenai
konglomerasi media, dapat dikenali pengertian dasar apa yang dimaksud
dengan konglomerasi? Dan bagaimana konglomerasi media dapat terbentuk?
Pertanyaan khusus untuk para mahasiswa yang sedang mempelajari mata
kuliah ekonomi politik media. Konglomerat ialah pelaku atau penindak
konglomerasi sebagaimana yang diharapakannya untuk dapat membangun
suatu tatanan kekuasaan yang utuh. Pada dasarnya semua manusia memang
seperti itu. Mungkin mereka mencoba untuk bertahan hidup.
Pembentukan konglomerasi media dapat dikatakan telah
didominasi oleh kekuasaan ekonomi sebelum kekuasaan politik yang
diharapkan. Sebagaimana peta ilmu sosial atau ekonomi, terdapat dua
aliran besar ideologi, yaitu pemikiran ‘kanan’ dan ‘kiri’. Ekonomi
aliran kanan punya pemahaman ekonomi liberal tentang satu sistem
perekonomian yang bebas, campur tangan negara dibatasi sehingga akan
tercipta pasar yang bebas. Tujuan utamanya yakni kekuasaan sebuah sistem
perekonomian adalah pencapaian suaut kemakmuran. Kemakmuran bisa
dicapai dengan terciptanya pasar bebas. Setiap warga negara memiliki
kesempatan yang sama dalam pasar, faktor utamanya adalah sebuah
kepemilikan modal (kapitalisme).
Berbeda dengan arah yang berlawanan, teori kiri hadir mengkritisi
ekonomi liberal. Dengan pernyataan bahwa pasar bukan faktor utama, namun
justru negaralah yang seharusnya mengatur pasar. Sebagimana mekanisme
yang seperti ekonomi liberal sangat tidak adil, sehingga dapat
menimbulkan kesenjangan dan eksploitasi. Negara harus diberikan peran
sentral dalam mengatur perekonomian. Sistem perekonomian yang demikian
disebut sebagai sistem ekonomi sosialis. Tujuan utama perekonomian ini
adalah untuk mencapai keadilan dan bukan sebagai kemakmuran semata.
Dapat dilihat pada saat ini, kejadian konglomerasi media yang tercipta
didasari dengan adanya kepemilikan modal, yakni pemikiran kanan berusaha
melakukan ekspansi sebagai penyebaran kekuasaan ekonomi sekaligus
menuangkan pengaruh politiknya. Sebagai contoh, salah satu diantaranya
adalah perusahaan media milik Hary Tanoesoedibjo, yaitu MNC yang
terdiri dari RCTI, GlobalTV, MNCTV, Sindo, dan sejumlah media cetak dan
online.
Awalnya Hary Tanoesoedibjo hadir sebagai seorang pemimpin perusahaan
media, akan tetapi melalui beberapa tahap godaan yang ia dapati, maka
akhirnya MNC mulai menggunakan frekuensi publik bukan hanya untuk
kepentingan bisnis, tapi juga politik. Sebagaimana yang dikatakan
William L Rivers, pemberitaan melalui media itu memiliki posisi sangat
penting. Apalagi media televisi, memiliki daya hegemoni lebih canggih
daripada media lain. Pengaruh media semacam televisi, pelan tapi pasti
akan mempengaruhi pola pikir masyarakat.
Bukan hanya itu, di Indonesia hal tersebut sudah menjadi suatu budaya
politik yang merambat. Lihat saja, perlahan-lahan semakin banyaknya
anomali pada beberapa siaran televisi saat ini, penyiaran yang
dilakukan tidak lagi mementingkan fungsi edukatif dan informatif,
walaupun ada beberapa diantaranya tampak melakukan penetralan suatu
kebijakan penyiaran sebagai penjagaan citra suatu wujud, tapi tidak
lain hal tersebut hanya bertujuan untuk meraup keuntungan yang besar di
sisi ekonomi dan juga politik tanpa sumbangsi yang positif kepada
khalayak secara umum.
Contoh lain, media Kompas Gramedia Group
(KKG) yang sebelumnya fokus di media cetak, kini telah melebarkan
sayapnya dengan mendirikan Kompas TV yang bekerjasama dengan stasiun
televisi daerah. Hal itu juga bisa menjadi salah satu tendensi tindak
konglomerasi media yang akan mengarah ke bidang politik bagi pemilik
perusahaan dengan mengharapkan suatu kedudukan dalam perpolitikan
bangsa yang melemah. Maka dengan itu, terciptalah kekhawatiran
masyarakat terhadap media yang awalnya dapat dipercaya sebagai media
informasi dan edukasi yang berimbang.
Alhasil masyarakat pun kian berpaling
menjadi apatis, ketika para politisi saling bercengkrama riang bersama
para pemilik modal dalam media. Semua itu juga dapat dipandang sebagai
hal yang lumrah, bahwa konglomerasi media yang dilakukan adalah hal
yang wajar untuk mempertahankan kehidupan perusahaannya, dengan
mengandalkan kekuasaaan yang dimiliki lalu membangun kekuasaan lain
yang lebih besar lagi, sehingga menghasilkan beragam kekuatan-kekuatan
ektrim. Ekstrim!
Kita (orang awam) masyarakat Indonesia
memang terus dibentuk dalam dilema bagi bangsanya sendiri, maka tak ada
solusi lain, kesadaran terhadap mengkonsumsi media juga perlu diatasi
dengan adanya idealisme dari masing-masing individu dalam menanggapi
bagaimana kekuatan media dalam mempengaruhi kehidupan kita sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar