Darurat Bencana Nasional, Corona Lawan Bersama - berandaagung

Breaking

Post Top Ad

Post Top Ad

Jumat, Maret 20, 2020

Darurat Bencana Nasional, Corona Lawan Bersama


Penyebaran virus Corona atau COVID-19 di Indonesia masih menjadi polemik yang panjang karena telah banyak mempengaruhi berbagai sektor; kesehatan, pendidikan, perekonomian, bahkan mungkin keamanan negara. Hal ini tentunya dapat dipahami bahwa Corona menjadi lawan bersama bagi seluruh warga Indonesia tak terkecuali karena mengancam ketahanan negara dan kehidupan seluruh masyarakat jika tidak diatasi secepatnya.

Menyikapi perkembangan COVID-19 di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memutuskan untuk memperpanjang status keadaan darurat karena pandemi COVID-19 sudah berada dalam status bencana skala nasional dengan pertimbangan bahwa telah meluasnya virus tersebut.

Status darurat ditetapkan sejak 28 Januari 2020 dalam rapat koordinasi dengan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) saat membahas  pemulangan Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di Wuhan, China. Kemudian dalam Surat Keputusan BNPB Nomor 13A, selanjutnya diperpanjang dari tanggal 29 Februari sampai dengan 29 Mei 2020 karena belum ada daerah yang menetapkan status keadaan darurat terkait COVID-19.

Dengan adanya status Darurat Bencana Nasional ini Pemerintah harus mengerahkan segala potensi yang ada dengan memaksimalkan seluruh pihak di bidang Kesehatan, Keamanan, Badan Usaha, dan sebagainya untuk mendukung operasi percepatan penanggulangan bencana COVID-19 ini.

Selain itu kesadaran dan keterlibatan masyarakat juga sangat perlu ditingkatkan untuk melawan Corona atau COVID-19, yang dapat dimulai dengan menjaga kesehatan pribadi dan lingkungan sekitar serta memahami bagaimana mencegah penyebaran dan cara kerja virus tersebut.
Perkembangan COVID-19 tertanggal pada 19 Maret 2020, bahwa di Indonesia terdapat 309 orang yang dinyatakan positif, 15 orang sembuh, dan 25 orang meninggal. Sementara itu melihat penyebaran COVID-19 sejauh ini diprediksikan masih memungkinkan akan terus bertambah, apalagi dengan ‘kegagapan’ kebijakan pemerintah dalam penanganannya.


Deteksi Corona Secara Massal: RT-PCR atau Rapid Test?

Penanganan Virus Corona atau COVID-19 dibahas dalam rapat terbatas melalui telekonferensi video di Istana Merdeka, Presiden Jokowi memberikan instruksi baru untuk mendeteksi Virus Corona atau COVID-19 secara massal. “Segera lakukan Rapid Test. Tes cepat dengan cakupan yang lebih besar agar deteksi dini, kemungkinan awal seorang terpapar COVID-19 bisa kita lakukan", ujarnya seperti yang dikutip dalam pemberitaan di media. Jakarta, Kamis (19/3/2020).

Jokowi meminta agar pemeriksaan tersebut bisa diperbanyak di sejumlah tempat untuk melakukan tes yang melibatkan sejumlah pemangku kepentingan terkait, tak terkecuali lembaga riset maupun perguruan tinggi.

Agar Rapid Test Covid-19 berjalan lancar, Presiden Jokowi meminta agar Kementerian Kesehatan segera memperbanyak alat tes sekaligus tempat tes. Tidak hanya Kemenkes, Presiden Jokowi juga meminta pelibatan sejumlah unsur, mulai dari rumah sakit pemerintah, BUMN, TNI-Polri, hingga swasta demi kelancaran Rapid Test massal itu.

Pemerintah mempertimbangkan pemeriksaan COVID-19 dengan Rapid Test seperti yang dipakai di beberapa negara lain. Jenis tes ini diklaim memberikan hasil lebih cepat dibanding tes yang selama ini telah diterapkan oleh BNPB, yakni PCR (Polymerase Chain Reaction) atau RT-PCR (Real Time Polymerase Chain Reaction). Dibanding Rapid Test, RT-PCR membutuhkan waktu lebih lama dan biaya yang relatif lebih mahal.

Kedua tes tersebut perlu diketahui pada dasarnya memiliki cara yang berbeda. RT-PCR harus dikerjakan di laboratorium dengan standar biosafety level tertentu. Lain halnya dengan Rapid Test yang lebih praktis karena bisa dilakukan di mana saja. RT-PCR menggunakan sampel usapan lendir dari hidung atau tenggorokan, dan Rapid Test menggunakan sampel darah. Sementara itu berdasarkan hasil tesnya, RT-PCR mampu mendeteksi keberadaan virus, sedangkan Rapid Test mendeteksi apakah seseorang pernah terpapar atau tidak. Dari beberapa perbedaan itu tentu keduanya dapat digunakan sesuai dengan kesiapan Pemerintah serta keadaan suatu wilayah.

Virus yang aktif memiliki material genetika yang dapat berupa DNA maupun RNA. Pada COVID-19 material genetiknya adalah RNA, yang kemudian RNA inilah yang diamplifikasi dengan RT-PCR sehingga bisa dideteksi. Sementara Rapid Test bekerja dengan cara yang berbeda. COVID-19 tidak hidup di darah, tetapi seseorang yang terinfeksi akan membentuk antibodi yang disebut immunoglobulin, yang bisa dideteksi di darah. Immunoglobulin inilah yang dideteksi dengan Rapid Test.

Mengutip dari pemberitaan detik.com. Terkait penggunaan kedua metode ini, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, PhD, Principal Investigator, Stem-cell and Cancer Research Institute, menjelaskan bahwa Rapid Test bisa memberikan hasil 'false negative', yakni tampak negatif meski sebenarnya positif. Ini terjadi bila tes dilakukan pada fase yang tidak tepat. "Data antibodi tidak selalu bersamaan dengan data PCR. Ketika data PCR menunjukkan virus RNA terdeteksi, kadang antibodi belum terbentuk," jelasnya.

Terkait Instruksi Presiden mengenai pendeteksian COVID-19 secara massal, tentu seharusnya dilakukan segera mungkin, mengingat penyebarannya yang sangat mudah dan terus mengalami peningkatan pasien. Maka untuk pendeteksian COVID-19 secara maksimal, langkah baiknya dapat menggunakan Rapid Test maupun RT-PCR yang tentunya juga memerlukan skema yang tepat sertaa pemerataan ke seluruh masyarakat.

Namun yang menjadi pertanyaan, apakah pendeteksian COVID-19 dapat dilakukan secara tepat untuk menahan penyebarannya? Dan bagaimana skema pendeteksian itu dilakukan secara efisien dan efektif? Sementara itu perlu diperhatikan juga bahwa kesadaran dan pemahaman kolektif masyarakat untuk melawan penyebaran COVID-19 ini masih sangat minim. Hal tersebut dapat dilihat dari himbauan pembatasan aktifitas masyarakat seperti bekerja dari rumah yang tidak dipatuhi oleh semua pihak. Alhasil, aktifitas masyarakat masih juga berjalan seperti biasanya bersama dengan keberadaan COVID-19 yang belum terdeteksi secara menyeluruh di tengah masyarakat.


Puskesmas Bisa Jadi Garda Pendeteksi COVID-19

Pusat Kesehatan Masyarakat (PUSKESMAS) dapat dijadikan sebagai garda terdepan untuk melakukan pendeteksian COVID-19 secara massal di seluruh daerah. Keberadaan Puskesmas perlu dimaksimalkan perannya sebagai unit pelaksana teknis kesehatan di bawah supervisi dinas kesehatan daerah yang didukung dengan kesiapan dan kebijakan Pemerintah serta Kementerian Kesehatan.

Proses pendeteksian secara massal perlu dilakukan dari pembagian wilayah terkecil seperti per RT/RW yang berkordinasi dengan pihak Kelurahan serta Puskesmas setempat. Hal itu penting dilakukan untuk menghindari penumpukan masyarakat yang melakukan pemeriksaan serentak jika dilakukan di Rumah Sakit tertentu. 

Selain itu yang akan dihadapi juga kendala aksesbilitas masyarakat hingga pada jaminan kesehatan yang mungkin semula datang dengan kondisi sehat, lalu terjangkit ketika melakukan pemeriksaan. Oleh karena itu, pendeteksian akan menjadi lebih efektif dengan memaksimalkan keberadaan PUSKESMAS yang difasilitasi untuk mengetahui secara jelas dan merata mengenai keberadaan dan persebaran COVID-19 baik pada individu maupun di suatu wilayah.

Sementara itu selama periode pendeteksian secara massal juga diperlukan kebijakan untuk memberhentikan aktifitas lainnya secara ketat atau semacam lockdown sementera, sehingga dapat berfokus untuk memaksimalkan hasil pendeteksian COVID-19. Adapun jika terdapat temuan pada individu atau suatu wilayah, maka harus segera mendapatkan penanganan lanjutan dan lebih serius. 
Dengan demikian, hal tersebut tentu dilakukan agar pendeteksian COVID-19 jauh lebih terukur dan terkendali, sehingga kita tidak berlarut dalam kekhawatiran dengan hanya menunggu info sampai kapan bertambahnya pasien-pasien yang berjatuhan.

**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Post Top Ad